Sekarang ini, pendefinisian siapa generasi milenial telah dikerjakan banyak pihak, seperti PEW Research Center yang menyebutkan kalau generasi milenial yaitu generasi yang lahir sesudah th. 1980. Berlainan dengan PEW, KPMG International berikan batasan kalau generasi milenial dapat diklasifikasikan dengan luas jadi generasi yang lahir pada pertengahan th. 1980 hingga 2000. Serta, generasi itu menjangkau umur dewasa di sekitar perubahan era ke-21. Disamping itu, CSIS juga dalam penelitian yang mereka kerjakan tentang tujuan generasi milenial dalam politik mengkategorikan generasi milenial pada usia 17 – 29 th..
Diantara perbedan beberapa pengertian yang ada itu, saya setuju kalau generasi milenial lahir serta tumbuh besar dalam kuatnya arus perubahan tehnologi. Sikap serta tingkah laku mereka banyak di pengaruhi oleh gadget serta internet. Mereka relatif lebih mementingkan pola hidup. Simak saja hasil penelitian PEW Research Center yang menyebutkan kalau ketidaksamaan kontras generasi milenial serta generasi terlebih dulu yaitu masalah pemakaian tehnologi, selera musik, serta pola hidup. Serta, yang tidak kalah perlu, pilihan-pilihan yang mereka ambillah semakin banyak didasarkan pada info dari internet, terlebih sosial media.
Pada 2017, jumlah milenial di Indonesia diperkirakan telah menjangkau 35% dari jumlah masyarakat. Diprediksikan, milenial menyebar nyaris rata di semua pelosok Indonesia dari Aceh hingga Papua dengan kata lain bukan sekedar menetap di kota besar, seperti Jakarta, Bandung, serta Surabaya. Oleh karenanya, saya kurang setuju bila dipandang ada keseragaman ciri-khas milenial. Saya kurang percaya semuanya milenial di Indonesia nikmati perubahan tehnologi. Pasalnya, bila internet jadi aspek terpenting serta pembeda generasi milenial dengan generasi terlebih dulu, jadi data yang ada malah tidak tunjukkan kemerataan dalam penebaran internat.
Berdasar pada penelitian Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), keseluruhan pemakai internet Indonesia 132, 7 juta dari keseluruhan populasi 256, 2 juta orang. Pemakai tersebut di dominasi 65% di Pulau Jawa, 15, 7% di Pulau Sumatera, sedang Bali serta Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, serta Papua tidaklah sampai pada angka 7%.
Data persebaran pemakai intenet dari APJII memberi kita deskripsi begitu terpusatnya populasi pemakai internet di Pulau Jawa. Ketimpangan itu bisa jadi dikarenakan oleh tidak meratanya ketersedian infrastruktur pendukung. Imbasnya yaitu timbulnya gap info pada orang-orang kota serta desa, atau pada orang-orang di Pulau Jawa serta luar Jawa. Dengan kata beda, belum juga usai Indonesia dengan masalah ketimpangan infrastruktur, ketimpangan lapangan kerja, ketimpangan ekonomi, ketimpangan antarpulau, pada kota serta desa, jadi ketimpangan digital telah mulai ada dimuka mata.
Memanglah tak ada yang salah, tetapi bila keadaan ini tetaplah dilewatkan, diprediksikan juga akan keluar banyak dampak domino. Ketimpangan digital juga akan beresiko besar pada ketimpangan ekonomi, lapangan pekerjaan, akses pendidikan, dan lain-lain. Karna dapat dibuktikan kalau revolusi digital berkemampuan untuk memengaruhi semuanya segi kehidupan sekarang ini. Sebut saja misalnya start up-start up berhasil di Jakarta. Menjamurnya usaha rintisan yang berbasiskan digital begitu ditetapkan oleh ketersediaan infrastruktur digital, seperti akses jaringan internet serta infrastruktur telekomunikasi.
Logika sederhananya, ketersediaan infrastruktur digital sediakan landasan untuk start up-start up untuk lahir serta berekspansi. Untuk generasi milenial perkotaan, kehadiran infrastruktur digital juga akan mempermudah mereka untuk memperoleh info serta anekarupa pengetahuan yang lalu jadikan pertimbangan-pertimbangan dalam tiap-tiap ketentuan.
Bahkan juga sekarang ini perubahan tehnologi dunia telah bergerak ke arah Internet of Things (IoT), Artifical Intelligence (AI), serta Machine Learning. Diperkirakan banyak pekerjaan manusia yang nanti juga akan digantikan oleh mesin atau robot. Hasil riset dari Boston Consulting Group memprediksi, pada 2025, sekitaran seperempat pekerjaan juga akan digantikan oleh mesin atau robot. Siap tidak siap, Indonesia juga juga akan hadapi keadaan begini nanti, karna histori sudah menunjukkan kalau arus tehnologi memanglah akan tidak dapat dibendung.
Hingga begitu lumrah bila pada satu peluang, Presiden Jokowi keluarkan celetukan supaya kampus sediakan jurusan e-commerce serta jurusan meme. Untuk saya, ini bukan sekedar hanya celetukan. Karna perubahan tehnologi beresiko besar pada tumbuhnya industri baru serta lapangan pekerjaan yang baru juga. Pemerintah mesti dapat sediakan sumber daya manusianya untuk berpacu menyeimbangi cepatnya perubahan industri-industri baru. Oleh karenanya, beragam penyesuaian memanglah mesti dikerjakan, terlebih di institusi-institusi pendidikan kita sekarang ini.
Menurut hasil projectsi Tubuh Pusat Statistik (BPS), pada 2016 angka umur produktif (15-60 th.) di Indonesia menjangkau 166, 06 juta jiwa --50% lebih masyarakat Indonesia yaitu umur produktif. Dari keseluruhan umur produktif itu, 32% yaitu generasi milenial (15-39 th.). Berarti, sekarang ini Indonesia telah masuk masa awal bonus demografi. Keadaan ini dapat jadi kesempatan sekalian tantangan untuk pemerintah Indonesia. Bila angka ini tidak dikelola dengan baik, jadi bonus demografi yang sampai kini diagung-agungkan juga akan berlangsung pada th. 2035 dan merta dapat juga jadi bom saat untuk Indonesia. Karna waktu itu, umur produktif Indonesia menjangkau 70% dari keseluruhan masyarakat, didominasi oleh generasi milenial. Nah, bila perekonomian nasional tidak dapat untuk sediakan lapangan pekerjaan, jadi juga akan berlangsung ledakan pengangguran.
Oleh karenanya, bagaimana generasi milenial hadapi bonus demografi mesti jadi perhatian semuanya pihak, terlebih dari pihak negara. Hal itu dapat diawali dengan usaha pemerintah untuk mempersiapkan semuanya infrastruktur yang dibutuhkan supaya milenial dapat meningkatkan diri serta berkompetisian didunia kerja maupun dunia usaha. Serta, jangan pernah keluar keadaan yang berbeda dimana milenial produktif cuma ada di kota-kota besar, lapangan pekerjaan juga cuma di ada di Pulau Jawa. Mengakibatkan pasti tidak juga akan baik. Urbanisasi juga akan makin tinggi, Pulau Jawa makin padat, ketimpangan juga akan makin tinggi pada Jawa serta non-Jawa. Ketimpangan digital ini tidak cuma jadi pekerjaan tempat tinggal pemerintah pusat, tetapi juga pemerintah daerah.
Th. 2018 serta 2019 yaitu momentum untuk beberapa milenial untuk memperjuangkan hak mereka. Sekitaran 171 daerah juga akan mengadakan pilkada th. ini, sedang 2019 yaitu pesta demokrasi untuk tingkat nasional, penentuan presiden serta DPR. Oleh karenanya milenial jangan pernah cuma jadikan jadi lumbung nada penentuan saja, dimana nada milenial dibeli cuma karna kebutuhan politik semata, bahkan juga dipandang jadi objek dari praktek politik yang berjalan.
Memanglah, untuk merampungkan persoalan ini tidak cuma pekerjaan dari pemerintah. Kerjasama semuanya pihak, baik itu pemerintah daerah, pegiat start up, institusi pendidikan juga tidak kalah krusialnya. Tapi, tidak salah juga bila institusi sekelas negara mesti kita ingatkan untuk selekasnya mempersiapkan beragam regulasi pendukung. Dasarnya, negara mesti ada serta adil dalam lihat masalah yang satu ini. Negara diinginkan tidak untuk tutup mata cuma karna dijagokan Indonesia juga akan menjangkau bonus demografi yang diprediksikan akan mendongkrak status ekonomi nasional jadi negara dengan ekonomi maju pada 2030.
Saya mengharapkan, jangan pernah kelak milenial cuma di kenal jadi satu pengkategorian, cuma disebut-sebut karna jumlahnya yang makin besar. Dengan kata beda, milenial cuma jadi peserta politik atributif untuk beberapa kumpulan elite politik yang sesungguhnya tidak sempat memperjuangkan kebutuhan mereka. Untuk saya, milenial tidak perlu cerita jati diri, tapi perlu diperjuangkan dengan kongkret. Elit-elit mesti mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan penyiapan akses serta infrastruktur yang sama di tiap-tiap daerah, bukan sekedar di kota-kota besar, dan memfasilitasi mereka supaya tetaplah dapat berkarya serta berperan untuk Indonesia
Diantara perbedan beberapa pengertian yang ada itu, saya setuju kalau generasi milenial lahir serta tumbuh besar dalam kuatnya arus perubahan tehnologi. Sikap serta tingkah laku mereka banyak di pengaruhi oleh gadget serta internet. Mereka relatif lebih mementingkan pola hidup. Simak saja hasil penelitian PEW Research Center yang menyebutkan kalau ketidaksamaan kontras generasi milenial serta generasi terlebih dulu yaitu masalah pemakaian tehnologi, selera musik, serta pola hidup. Serta, yang tidak kalah perlu, pilihan-pilihan yang mereka ambillah semakin banyak didasarkan pada info dari internet, terlebih sosial media.
Pada 2017, jumlah milenial di Indonesia diperkirakan telah menjangkau 35% dari jumlah masyarakat. Diprediksikan, milenial menyebar nyaris rata di semua pelosok Indonesia dari Aceh hingga Papua dengan kata lain bukan sekedar menetap di kota besar, seperti Jakarta, Bandung, serta Surabaya. Oleh karenanya, saya kurang setuju bila dipandang ada keseragaman ciri-khas milenial. Saya kurang percaya semuanya milenial di Indonesia nikmati perubahan tehnologi. Pasalnya, bila internet jadi aspek terpenting serta pembeda generasi milenial dengan generasi terlebih dulu, jadi data yang ada malah tidak tunjukkan kemerataan dalam penebaran internat.
Data persebaran pemakai intenet dari APJII memberi kita deskripsi begitu terpusatnya populasi pemakai internet di Pulau Jawa. Ketimpangan itu bisa jadi dikarenakan oleh tidak meratanya ketersedian infrastruktur pendukung. Imbasnya yaitu timbulnya gap info pada orang-orang kota serta desa, atau pada orang-orang di Pulau Jawa serta luar Jawa. Dengan kata beda, belum juga usai Indonesia dengan masalah ketimpangan infrastruktur, ketimpangan lapangan kerja, ketimpangan ekonomi, ketimpangan antarpulau, pada kota serta desa, jadi ketimpangan digital telah mulai ada dimuka mata.
Memanglah tak ada yang salah, tetapi bila keadaan ini tetaplah dilewatkan, diprediksikan juga akan keluar banyak dampak domino. Ketimpangan digital juga akan beresiko besar pada ketimpangan ekonomi, lapangan pekerjaan, akses pendidikan, dan lain-lain. Karna dapat dibuktikan kalau revolusi digital berkemampuan untuk memengaruhi semuanya segi kehidupan sekarang ini. Sebut saja misalnya start up-start up berhasil di Jakarta. Menjamurnya usaha rintisan yang berbasiskan digital begitu ditetapkan oleh ketersediaan infrastruktur digital, seperti akses jaringan internet serta infrastruktur telekomunikasi.
Logika sederhananya, ketersediaan infrastruktur digital sediakan landasan untuk start up-start up untuk lahir serta berekspansi. Untuk generasi milenial perkotaan, kehadiran infrastruktur digital juga akan mempermudah mereka untuk memperoleh info serta anekarupa pengetahuan yang lalu jadikan pertimbangan-pertimbangan dalam tiap-tiap ketentuan.
Bahkan juga sekarang ini perubahan tehnologi dunia telah bergerak ke arah Internet of Things (IoT), Artifical Intelligence (AI), serta Machine Learning. Diperkirakan banyak pekerjaan manusia yang nanti juga akan digantikan oleh mesin atau robot. Hasil riset dari Boston Consulting Group memprediksi, pada 2025, sekitaran seperempat pekerjaan juga akan digantikan oleh mesin atau robot. Siap tidak siap, Indonesia juga juga akan hadapi keadaan begini nanti, karna histori sudah menunjukkan kalau arus tehnologi memanglah akan tidak dapat dibendung.
Hingga begitu lumrah bila pada satu peluang, Presiden Jokowi keluarkan celetukan supaya kampus sediakan jurusan e-commerce serta jurusan meme. Untuk saya, ini bukan sekedar hanya celetukan. Karna perubahan tehnologi beresiko besar pada tumbuhnya industri baru serta lapangan pekerjaan yang baru juga. Pemerintah mesti dapat sediakan sumber daya manusianya untuk berpacu menyeimbangi cepatnya perubahan industri-industri baru. Oleh karenanya, beragam penyesuaian memanglah mesti dikerjakan, terlebih di institusi-institusi pendidikan kita sekarang ini.
Menurut hasil projectsi Tubuh Pusat Statistik (BPS), pada 2016 angka umur produktif (15-60 th.) di Indonesia menjangkau 166, 06 juta jiwa --50% lebih masyarakat Indonesia yaitu umur produktif. Dari keseluruhan umur produktif itu, 32% yaitu generasi milenial (15-39 th.). Berarti, sekarang ini Indonesia telah masuk masa awal bonus demografi. Keadaan ini dapat jadi kesempatan sekalian tantangan untuk pemerintah Indonesia. Bila angka ini tidak dikelola dengan baik, jadi bonus demografi yang sampai kini diagung-agungkan juga akan berlangsung pada th. 2035 dan merta dapat juga jadi bom saat untuk Indonesia. Karna waktu itu, umur produktif Indonesia menjangkau 70% dari keseluruhan masyarakat, didominasi oleh generasi milenial. Nah, bila perekonomian nasional tidak dapat untuk sediakan lapangan pekerjaan, jadi juga akan berlangsung ledakan pengangguran.
Oleh karenanya, bagaimana generasi milenial hadapi bonus demografi mesti jadi perhatian semuanya pihak, terlebih dari pihak negara. Hal itu dapat diawali dengan usaha pemerintah untuk mempersiapkan semuanya infrastruktur yang dibutuhkan supaya milenial dapat meningkatkan diri serta berkompetisian didunia kerja maupun dunia usaha. Serta, jangan pernah keluar keadaan yang berbeda dimana milenial produktif cuma ada di kota-kota besar, lapangan pekerjaan juga cuma di ada di Pulau Jawa. Mengakibatkan pasti tidak juga akan baik. Urbanisasi juga akan makin tinggi, Pulau Jawa makin padat, ketimpangan juga akan makin tinggi pada Jawa serta non-Jawa. Ketimpangan digital ini tidak cuma jadi pekerjaan tempat tinggal pemerintah pusat, tetapi juga pemerintah daerah.
Th. 2018 serta 2019 yaitu momentum untuk beberapa milenial untuk memperjuangkan hak mereka. Sekitaran 171 daerah juga akan mengadakan pilkada th. ini, sedang 2019 yaitu pesta demokrasi untuk tingkat nasional, penentuan presiden serta DPR. Oleh karenanya milenial jangan pernah cuma jadikan jadi lumbung nada penentuan saja, dimana nada milenial dibeli cuma karna kebutuhan politik semata, bahkan juga dipandang jadi objek dari praktek politik yang berjalan.
Memanglah, untuk merampungkan persoalan ini tidak cuma pekerjaan dari pemerintah. Kerjasama semuanya pihak, baik itu pemerintah daerah, pegiat start up, institusi pendidikan juga tidak kalah krusialnya. Tapi, tidak salah juga bila institusi sekelas negara mesti kita ingatkan untuk selekasnya mempersiapkan beragam regulasi pendukung. Dasarnya, negara mesti ada serta adil dalam lihat masalah yang satu ini. Negara diinginkan tidak untuk tutup mata cuma karna dijagokan Indonesia juga akan menjangkau bonus demografi yang diprediksikan akan mendongkrak status ekonomi nasional jadi negara dengan ekonomi maju pada 2030.
Saya mengharapkan, jangan pernah kelak milenial cuma di kenal jadi satu pengkategorian, cuma disebut-sebut karna jumlahnya yang makin besar. Dengan kata beda, milenial cuma jadi peserta politik atributif untuk beberapa kumpulan elite politik yang sesungguhnya tidak sempat memperjuangkan kebutuhan mereka. Untuk saya, milenial tidak perlu cerita jati diri, tapi perlu diperjuangkan dengan kongkret. Elit-elit mesti mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan penyiapan akses serta infrastruktur yang sama di tiap-tiap daerah, bukan sekedar di kota-kota besar, dan memfasilitasi mereka supaya tetaplah dapat berkarya serta berperan untuk Indonesia
Posting Komentar untuk "Definisi generasi milenial"
Jangan sungkan untuk berkomentar, karena komentar Anda sangat berharga untuk semua orang. Orang terhebat itu yang mau berbagi gagasan dengan orang semua orang.